Waspada Doktrin Teror dalam Game Online

Di era digital kini, permainan daring tak sekadar menjadi sarana hiburan semata. Baru-baru ini, aparat keamanan Indonesia mengungkap bahaya serius: game online menjadi salah satu pintu masuk bagi ideologi terorisme dan radikalisme.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa kelompok-kelompok ekstrem memanfaatkan ruang bermain daring sebagai medium rekrutmen anak dan remaja. 

Salah satu pola yang diidentifikasi adalah mulai dari “main bareng” atau mabar game daring bersama target yang masih muda. Misalnya, game dengan tema konflik atau peperangan yang tersedia dalam platform game besar.

Setelah muncul koneksi lewat chat atau voice chat, pelaku akan mengundang target ke aplikasi pesan instan yang lebih privat seperti Telegram atau WhatsApp.

Di situ mulailah proses digital grooming: terbentuk kedekatan emosional, lalu muncul ideologi radikal yang diperkenalkan secara perlahan. 

Apa yang membuat anak‐anak dan remaja menjadi target empuk? Pertama, game online membuka ruang sosial yang luas: pemain mudah berinteraksi dengan siapa saja, bahkan orang asing, lewat avatar dan chat.

Kiini memperbesar kemungkinan terjadi hubungan yang tidak terlihat oleh orang tua atau pengasuh. Kedua, literasi digital anak sering belum optimal—mereka mungkin belum dilengkapi dengan kemampuan menyaring konten yang berpotensi.

Ketika, faktor psikologis: remaja yang merasa kurang pengakuan atau perhatian dalam kehidupan nyata bisa mudah terhubung ke komunitas daring yang tampak memberi “peran penting”, “kelompok terpilih”, atau “heroik”. Seorang juru bicara Densus 88 menggambarkan bahwa modusnya:

“Ketika dia (anak) tidak dapat [pengakuan]… maka komunitas ini menawarkan: ‘Kamu akan jadi seseorang yang heroik, yang idealis.’” 

Dampak yang ditimbulkan sangat nyata dan mengkhawatirkan. Dalam laporan BNPT dan Densus 88, disebutkan bahwa sedikitnya 110 anak dari 23 provinsi telah direkrut melalui medium game online dan berpotensi diarahkan ke aksi teror.  Proses radikalisasi yang terselubung ini membuat ancaman makin sulit terdeteksi: anak mungkin terlihat hanya bermain game, sementara pada sisi lain sudah terhubung ke kelompok radikal yang mendoktrin ideologi.

Apa yang sudah dilakukan untuk pencegahan? Pemerintah bersama regulator digital memperkuat pengawasan konten game. Misalnya, Kominfo dan Dirjen Pengawasan Ruang Digital menegaskan bahwa game yang memuat propaganda ekstremisme atau simbol teror akan ditindak, termasuk melalui regulasi rating umur game yang wajib ditampilkan.  Selain itu, forum-forum lokal seperti Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di daerah mulai dibentuk untuk mengingatkan orang tua dan sekolah akan bahaya ini. 

Namun yang paling penting adalah peran orang tua, pengasuh, dan sekolah. Langkah konkret yang bisa dilakukan:

  • Mengawasi jenis game yang dimainkan anak, dengan siapa mereka bermain dan berkomunikasi.
  • Menerapkan batas waktu bermain dan memastikan ada aktivitas offline seperti olahraga, hobi, sosialisasi nyata.
  • Menanamkan literasi digital: mengajak anak ngobrol tentang konten game, chat, tawaran bergabung grup, serta mengenalkan simbol-simbol ekstremisme agar mereka tidak mudah tertipu.
  • Menggunakan fitur kontrol orang tua di perangkat atau akun game: seperti memblokir chat privat dengan orang asing, membatasi akses ke aplikasi pesan, memeriksa setting privasi.

Akhir kata, game online bukan musuh—ia tetap bisa menjadi media hiburan, kreativitas, dan interaksi sosial yang positif. Namun fenomena bahwa game digunakan sebagai pintu masuk doktrin terorisme menjadikannya tantangan nyata yang harus dihadapi bersama. Dengan pengawasan yang bijak, edukasi yang tepat, dan kolaborasi antara orang tua, sekolah, dan regulator, generasi muda dapat dimainkan secara aman dan sehat — bukan menjadi korban dari ideologi yang merusak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *